"walking in the path itself was very comfortable"

2.12.12

Lagi-lagi Federasi..



Prihatin. Hanya itu kata yang terlintas di benak saya setelah melihat performa tim nasional kita berlaga di AFF CUP 2012 di Malaysia. Masih terlalu jauh dari harapan Djohar Arifin Husein, yaitu untuk menjadi jawara di turnamen dua tahunan itu. Entah hanya memberi harapan kosong atau sekedar kesombongan yang tidak berdasar, target seorang nomor satu di federasi sepakbola Indonesia tersebut saya anggap sebagai omong kosong belaka. Persiapan yang mepet, materi pemain yang mayoritas tidak mempunyai pengalaman internasional, pelatih yang tidak kompeten, menjadi alasan saya tidak mempercayai semua harapan yang dijanjikan Djohar. Betul saja, faktanya performa timnas sangat mengecewakan di ajang tersebut. Terlebih lagi kacau-nya manajemen federasi yang membuat semuanya terbengkalai. Faktanya, tim nasional kita saat ini tidak lebih baik dari tim nasional kita pada ajang yang sama di tahun 2010. Meskipun pada masa tersebut manajemen federasi sepakbola Indonesia tidak kalah kacau-nya dengan yang ada saat ini, namun performa tim nasional kita jauh dari kata mengecewakan. Ya, tim nasional kita dengan heroik-nya dapat menembus babak final meskipun pada partai final tersebut kita dapat dikalah-kan oleh musuh bebuyutan kita Malaysia dengan agregat skor 2-4. Namun performa tim nasional pada saat itu dapat menyihir seluruh elemen masyarakat dari mulai rakyat kecil sampai kalangan selebritis dan pejabat kelas kakap. Penjualan tiket pertandingan tim nasional kita memecahkan rekor, momentum cinta tanah air kembali bergema pada saat itu, seolah semuanya bersatu mengenyampingkan segala jenis perbedaan, untuk sekedar mendukung tim nasional kesayangan. Sorak-sorai nasionalisme menggema di seluruh pelosok negeri. Namun, saat ini yang tersisa hanyalah kekecewaan yang mendalam melanda seluruh elemen bangsa, kotak-kotak supporter yang dulu sempat hilang, kini seolah kembali menggila. Segala jenis perbedaan yang dulu dikesampingkan, kini kembali muncul ke permukaan. Sorak-sorai nasionalisme yang dulu menggema di seluruh pelosok negeri, kini hilang tertutup oleh kekecewaan bangsa Indonesia akan kacau-nya kondisi federasi yang seolah semakin memuncak. Inilah kenyataannya, untuk kesekian kalinya kita dipecundangi oleh negara yang tidak lebih terhormat dari Indonesia. Dan kita tidak dapat memungkirinya.

“Menurut saya, Malaysia akan menang. Mereka mempunyai pemain berkualitas, dan juga bisa bermain di posisi berbeda. Sedangkan Indonesia banyak dihuni muka baru, dan tidak berpengalaman. Mereka juga miskin persiapan menjelang turnamen,” ucap Avramovic

Permasalahan berawal dari era Nurdin Halid saat masih menjabat sebagai ketua umu PSSI. Pada masa itu, kondisi manajemen federasi yang busuk, tercium ke permukaan. Supporter menuntut adanya reformasi ditubuh PSSI yang seolah digerogoti penyakit yang amat kritis. Namun Nurdin Halid seolah tak bergeming mendengar segala bentuk protes yang dilancarkan para klub anggota PSSI dan supporter. Nurdin Halid yang notabene adalah seorang residivis (mantan narapidana) dalam kasus korupsi, dianggap tidak transparan dan cenderung mempolitisasi sepak-bola. Kemudian muncul gagasan dari Arifin Panigoro, konglomerat pengusaha minyak, untuk membuat liga tandingan milik PSSI, yaitu Liga Primer Indonesia. Hal tersebut mendapat tantangan keras dari PSSI, karena dianggap break away league, dan hal tersebut dapat membuat Indonesia diberi sanksi oleh federasi sepak-bola internasional (FIFA). Namun seorang Arifin Panigoro tidak kalah arogan-nya dengan Nurdin Halid, seolah tidak mempedulikan sanksi FIFA, ia tetap menjalankan kompetisi IPL, dan hasilnya terjadi kekacauan antara klub yang mengikuti Indonesian Super League (ISL) yang bernaung dibawah panji PT. Liga Indonesia yang legal di mata PSSI dan FIFA. Beberapa klub peserta ISL memilih untuk hengkang, dan bergabung dengan kompetisi break away league IPL, yaitu Persema Malang, PSM Makasar, dan Solo FC (PERSIS SOLO). Dan pada fase tersebut terjadi pengkloningan klub akibat dari terjadinya konflik internal klub terkait konflik federasi, yaitu Persebaya - Persebaya 1927 IPL, Arema Indonesia - Arema Malang IPL, Persija - Persija IPL (Jakarta FC). Hal tersebut seolah menambah rumit kekisruhan yang terjadi, dan semua pihak beranggapan bahwa mereka berada di pihak yang benar.

Djohar terlalu berani menjadikan garuda di dada sebagai taruhan

Setelah sekian rumit-nya, barulah FIFA turun tangan atas kondisi kekacauan tersebut. FIFA membentuk tim khusus yang ditugaskan untuk menyelamatkan kondisi sepak-bola Indonesia yang semakin kacau, di ketuai oleh Agum Gumelar, tim ini sukses menyatukan kembali semua pihak yang bertikai. Kemudian diadakan kongres luar biasa, dilakukan pemilihan ketua umum PSSI. Akhirnya, terpilih-lah Djohar Arifin Husein, menggantikan Nurdin Halid yang akhirnya lengser. Seluruh penikmat sepak-bola nasional merasa puas dengan kongres tersebut, karena dapat melengserkan rezim Nurdin Halid dan kawan-kawan yang dianggap sulit ditembus, dan dapat melahirkan ketua umum baru, yaitu Djohar Arifin Husein. Seluruh elemen dunia pesepakbolaan nasional menaruh harapan yang besar kepada Djohar Arifin Husein. Djohar diharap-kan dapat menolong iklim sepakbola nasional yang terpuruk menjadi bangkit dan berprestasi, dan Djohar diharapkan dapat menjalankan federasi dengan baik dan benar. Djohar-pun menjawab semua harapan tersebut dengan membuat sebuah banner yang dipampang di depan kantor pusat PSSI di senayan, yaitu "Jangan biarkan saya korupsi!". Sebuah pernyataan yang sangat tegas, seolah menggambarkan sosok pribadi Djohar Arifin Husein yang akan menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Hal tersebut membuat masyarakat semakin yakin akan kinerja Djohar mempimpin federasi dengan baik.


Djohar Arifin Husein
Namun apa lacur, langkah pertama Djohar sebagai ketua umum federasi dilakukan dengan memecat Alfred Riedl dari posisinya sebagai pelatih kepala tim nasional Indonesia, digantikan oleh pria berkebangsaan Belanda, Wim Rijsbergen. Sontak beberapa penggila sepak-bola tanah air merasa heran dengan keputusan Djohar tersebut. Kemudian langkah kedua Djohar pada awal masa kepemimpinannya adalah, merombak total liga yang selama ini berjalan dibawah arahan PSSI. Peserta liga profesional ditambah menjadi 40 klub, dibagi dua menjadi timur dan barat. Seolah kembali ke masa Liga Indonesia yang kuno dan tidak profesional. Djohar mengikutsertakan beberapa klub yang dianggap tidak diketahui asal-usulnya, bukan dari divisi utama, bukan pula dari ISL, melainkan klub baru berasa dari IPL. Kemudian Djohar mengganti nama liga menjadi Indonesian Premier League, dan menghapus PT. Liga Indonesia yang sebelumnya mengatur seluruh kegiatan kompetisi profesional yang berada dibawah naungan PSSI, digantikan oleh PT. Liga Primer Indonesia Sportindo (PT. LPIS). Selain itu, Djohar juga memangkas pendapatan klub peserta liga dari pembagian hasil dengan PSSI yang semula 85% klub - 15% PSSI, menjadi 90% PSSI - 10% klub. Sontak saja hal tersebut ditentang olah seluruh klub yang sebelumnya bernaung dan berlaga di kompetisi ISL dan divisi utama. Namun seolah menjadi tradisi bagi setiap ketua umum federasi, Djohar tak bergeming sedikit-pun atas protes yang dilakukan oleh seluruh anggota PSSI. Akibatnya, seluruh peserta kompetisi ISL membangkang dan sepakat tetap mengikuti dan menjalankan kompetisi yang berada dibawah naungan PT. Liga Indonesia. Hanya Semen Padang dan Persijap Jepara yang memilih tetap mengikuti kompetisi baru yang dijalankan PSSI Djohar Arifin. Seolah menjadi De Javu bagi dunia sepak-bola Indonesia, dualisme kompetisi kembali terjadi. Dan untuk ke sekian kalinya seluruh elemen masyarakat kembali merasakan kekecewaan atas kepemimpinan baru tersebut, yang diharapkan dapat menciptakan atmosfer yang baik bagi iklim sepk-bola Indonesia, ternyata berbuah sebaliknya. Kompetisi IPL yang dulu dianggap sebagai kompetisi Ilegal, kini berbalik menjadi kompetisi legal dibawah naungan PSSI. Dan kompetisi ISL yang dulu dinggap Legal di hadapan PSSI dan FIFA, kini dianggap Ilegal oleh PSSI.


Puncaknya adalah ketika tim nasional Indonesia yang dipersiapkan untuk menghadapi perhelatan AFF CUP 2012 terbagi menjadi dua, yaitu tim nasional versi PSSI, dan tim nasional versi KPSI. Tim nasional PSSI berisi pemain-pemain dari pentas kompetisi Indonesian Premier League, dan tim nasional versi KPSI berisi pemain-pemain yang berasal dari pentas kompetisi Indonesian Super League. Tim nasional PSSI dilatih oleh Nil Maizar, dan tim nasional KPSI dilatih oleh Alfred Riedl. Jelas diatas kertas tim yang dilatih oleh Alfred Riedl yang akan lebih kompeten dibandingkan tim yang dilatih oleh Nil Maizar. Namun sepak-bola tidak bermain di atas kertas, tapi di atas lapangan ber-rumput hijau. Jujur, saya lebih berharap tim nasional yang dilatih oleh Alfred Riedl yang akan mewakili Indonesia di ajang AFF Cup 2012, bukan saya lebih cenderung berpihak pada KPSI, namun materi pemain dan pelatih tim asuhan Alred Riedl lebih meyakinkan dan berkualitas dibanding tim asuhan Nil Maizar. Saya berpendapat bahwa tim nasional adalah yang mewakili bangsa, maka dari itu materi yang ada-pun harus yang terbaik. Hal tersebut tidak saya temukan di tim nasional versi PSSI asuhan Nil Maizar yang dihuni oleh pemain yang tidak memiliki jam terbang dan pengalaman internasional yang baik. Intinya saya tidak ingin tim nasional saya dipermalukan dan dicemooh supporter lawan, berhubung tim nasional adalah muka bangsa!


Kembali ke runtutan masalah yang terjadi di tubuh federasi sepak-bola nasional, kedua timnas terbut masing-masing saling meyakini bahwa tim mereka-lah yang akan mewakili Indonesia di ajang AFF Cup 2012. Sebelum kemudian pada akhirnya AFC menentukan bahwa tim nasional yang berdada di bawah naungan federasi (PSSI) yang berhak mewakili Indonesia di ajang AFF Cup 2012. Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi beberapa elemen masyarakat sepak-bola Indonesia. Namun terjadi sedikit keanehan atau mungkin hal yang lucu, ketika PSSI mengirimkan surat petisi kepada FAM (federasi sepak-bola Malaysia) yang berisi himbauan kepada tim nasional malaysia untuk tidak memanggil Safee Sali yang notabene adalah pemain dari klub Pelita Jaya, yang mengikuti kompetisi ISL yang dianggap illegal oleh PSSI. PSSI juga menganjurkan FAM untuk melarang Safee Sali berkiprah di ajang Indonesian Super League, agar dapat menjadi bagian dari tim nasional Malaysia sesuai aturan FIFA. Namun, keanehannya adalah ketika PSSI memanggil beberapa pemain yang berasal dari kompetisi ISL yang mereka anggap Illegal. Pertanyaannya adalah, ada apa dengan federasi kita? Disaat mereka menghimbau FAM untuk tidak memanggil Safee Sali yang bermain di kompetisi Illegal, tapi mereka sendiri memanggil beberapa pemain dari kompetisi Illegal tersebut?

Hasil dari runtutan masalah tersebut adalah anjloknya performa tim nasional ke jurang keterpurukan. Untuk menembus partai semi-final saja tidak bisa. Wajah dunia sepak-bola Indonesia, harga diri bangsa, dan garuda di dada menjadi taruhannya. Apalagi setelah ini? Kesimpulan yang saya dapatkan adalah, seorang Djohar Arifin Husein tidak lebih baik dari Nurdin Halid.

kemana tim nasional kita yang dulu?